Hai, saya Syahriwildani Nur, biasa dipanggil Wilda. Awalnya, saya belum pernah terlibat dalam kegiatan relawan, jadi ketika memutuskan untuk bergabung sebagai Sobat Sipakatau, saya berpikir ini akan jadi pengalaman "sekadar belajar mengajar" yang mudah dan sederhana. Namun, ternyata tidak sesimpel itu. Di pertemuan pertama, saya bertemu seorang gadis kecil manis bernama Caca, murid kelas tiga SD di panti asuhan Rezky Ilahi. Kami baru belajar sekitar 15 menit ketika tiba-tiba dia bilang, “Kak, aku sudah mau istirahat belajarnya.” Sempat terkejut juga—kok cepat sekali bosannya? Tapi, saya menyadari bahwa ini baru permulaan, dan wajar saja anak seusia Caca sulit duduk manis belajar matematika terlalu lama. Akhirnya, saya memberinya waktu istirahat sejenak. Namun, ketika kami mulai belajar lagi, perhatiannya mudah sekali teralihkan, terutama saat melihat gadget di tangan saya. Saya mulai berpikir keras bagaimana caranya agar dia bisa tetap tertarik dan fokus belajar lebih lama. Awalnya, saya coba membiarkan Caca bermain dengan gadget saya sebagai cara untuk membangun kedekatan. Sayangnya, pendekatan ini malah tidak efektif—alih-alih belajar, Caca justru semakin asyik bermain. Akhirnya, saya dapat ide: bagaimana kalau kita belajar matematika lewat game di gadget? Saya bilang ke Caca, “Kita punya permainan seru di sini!” Walaupun sempat ragu, takut dia merasa tertipu, ternyata cara ini berhasil! Caca pun mulai lebih antusias, dan saat pertemuan berikutnya, ia bahkan meminta soal matematika tambahan, bukan lagi game tanpa kaitan dengan pelajaran. Menariknya, teman-teman Caca yang sebelumnya hanya mengintip dari jauh, seperti Lisa, Winar, Abdur, Adnan, dan Azka, kini ikut bergabung. Suasana belajar pun menjadi semakin seru dan hidup. Dari yang awalnya malu-malu, mereka semua kini lebih terbuka, sering berbagi cerita di sela-sela belajar. Setiap pertemuan jadi momen yang penuh tawa, dan kelas kami berubah menjadi tempat di mana belajar terasa menyenangkan. Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa bukan hanya mereka yang belajar, tapi saya juga ikut tumbuh bersama mereka. Dari Caca dan teman-temannya, saya belajar tentang kesabaran, kreativitas, dan pentingnya pendekatan sebelum memulai pembelajaran. Melihat anak-anak yang mungkin jarang mendapat perhatian khusus bisa begitu antusias dan semangat belajar memberi saya kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Ini mungkin pengalaman pertama saya sebagai relawan, tapi saya tahu pasti, ini akan menjadi kenangan yang selalu saya simpan di dalam hati. Penulis: Syahriwildani Nur
Baca SekarangHalo, perkenalkan, nama saya St. Aliyah Nabila, akrab disapa Nabila. Saya adalah mahasiswi Universitas Negeri Makassar, Jurusan Teknik Informatika dan Komputer. Saat ini, saya juga menjadi sukarelawan di Yayasan Sipakatau Anak Harapan. Awalnya, saya tertarik untuk bergabung sebagai sukarelawan setelah melihat pamflet open recruitment yang sering muncul di Explore dan Instagram Story teman-teman saya. Niat awal saya sebenarnya hanya untuk menambah pengalaman, tetapi setelah diterima dan mulai beraktivitas sebagai sukarelawan, saya merasakan dampak yang jauh lebih besar dari yang saya bayangkan. Saya ditempatkan di Panti Asuhan Rezky Ilahi. Pada minggu pertama mengajar di panti asuhan tersebut, saya merasa nervous, takut, dan di sisi lain senang bisa mencoba pengalaman baru. Saya mengajar banyak anak-anak dengan karakter yang berbeda-beda, dan mata pelajaran yang saya ajarkan adalah bahasa Inggris. Anak-anak yang saya ajar bernama Yusran, Suci, dan Alya. Saya ingin bercerita sedikit tentang mereka. Pertama, Yusran. Meskipun baru kelas 4 SD, Yusran memiliki antusiasme belajar yang tinggi. Dia selalu penasaran dan sering bertanya. Saya senang mengajarnya sambil bermain, karena rasanya seperti bermain dengan adik sendiri. Kemudian ada Suci dan Alya, yang sudah duduk di bangku SMP. Mengajar mereka terasa seru karena kami memiliki banyak kesamaan dan bisa saling relate dalam banyak hal. Suci, misalnya, suka belajar dengan metode praktik langsung. Saya terkejut karena Suci cukup menguasai kosakata bahasa Inggris, sehingga mengajarnya menjadi lebih mudah. Alya, di pertemuan awal, terlihat kesulitan dalam pengucapan dan tidak pernah bertanya; dia hanya menyimak. Namun, seiring berjalannya waktu, saya melihat adanya peningkatan kemauan belajar pada diri Alya. Dia mulai bertanya tentang hal-hal dasar hingga selalu ingin mencoba melatih pelafalan bahasa Inggris. Awalnya, saya berpikir kehadiran saya di panti asuhan ini tidak akan membawa dampak yang besar. Saya tidak berekspektasi terlalu tinggi, tetapi setiap minggu, saya melihat motivasi dan antusiasme belajar dari adik-adik ini semakin meningkat. Mereka selalu menantikan kedatangan saya, dan itu sangat menyentuh hati. Saya juga selalu mengingat kata-kata Kak Adilah Yasmin Hatta, founder Yayasan Sipakatau Anak Harapan, yang mengatakan, "Setidaknya mereka memiliki keinginan untuk mau belajar." Perubahan yang saya lihat dari anak-anak panti adalah meningkatnya motivasi belajar mereka. Metode pembelajaran yang saya gunakan cukup bervariasi tetapi tetap santai, seperti belajar sambil bermain. Saya tidak menuntut mereka untuk menguasai materi secara sempurna; yang penting adalah mereka memahami dasar-dasar vocabulary, grammar, speaking, writing, dan reading. Saya teringat satu momen ketika saya mengajarkan materi kepada Suci. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan dan mengisi worksheet dengan baik, lalu tiba-tiba berkata, “Saya mempelajari ini di sekolah, rasanya mudah.” Mendengar itu, saya merasa sangat bangga karena materi yang saya ajarkan ternyata bermanfaat bagi pendidikannya. Alya pun sering bertanya tentang materi bahasa Inggris yang diajarkan di sekolah dan meminta bantuan saya untuk mengerjakan PR. Suci bahkan pernah bercerita bahwa ia mendapatkan bintang karena berhasil menjawab pertanyaan di kelas. Melihat Suci bercerita dengan penuh semangat dan bangga membuat saya turut merasa senang dan terus mendorongnya untuk belajar lebih giat. Ah! Tak lupa juga, Suci pernah bercerita bahwa dia mendapatkan bintang karena menjawab pertanyaan. Melihat dia bercerita dengan senang dan penuh bangga, saya juga ikut senang dan memberi dorongan kepada Suci. Saya merasa sangat bangga dan bahagia melihat kemajuan mereka setiap harinya. Saya banyak belajar dari kegiatan ini, terutama dalam memahami metode belajar yang efektif serta karakter anak. Terkadang, langkah kecil membawa perubahan yang lebih besar dari yang kita duga. I’m destined to be in this space. Kebahagiaan terbesar saya adalah menyaksikan mereka semakin percaya diri dan bersemangat belajar. Ketulusan dalam berbagi ilmu akan selalu menemukan jalannya untuk kembali sebagai kebahagiaan. Melihat cahaya antusiasme di mata anak-anak adalah hadiah terbesar bagi saya. Penulis : St. Aliyah Nabila
Baca SekarangLahir dan dibesarkan dalam lingkungan pengajar, pengalaman tersebut tentu saja mempengaruhi prinsip hidup saya. Kedua orang tua saya adalah guru; ayah saya mengajar di sekolah dasar, sementara ibu saya di sekolah menengah pertama. Perkenalkan, nama saya Mujibul Rahman, biasa dipanggil Muji, dan dari sinilah minat saya untuk mengajar mulai tumbuh. Sebagai lulusan Teknik Sipil, rutinitas saya cukup jauh dari kegiatan belajar mengajar. Meskipun selama kuliah saya masih bisa mengajar melalui kegiatan di himpunan mahasiswa jurusan, setelah lulus, saya merasa terputus dari aktivitas tersebut. Mulai saat itu, saya mencari komunitas mengajar. Banyak teman saya aktif di sebuah organisasi yang mengajar di panti asuhan, yang membuat saya tertarik untuk terlibat. Saya mencari tahu tentang Yayasan Sipakatau Anak Harapan. Sejak 2023, saya sudah memiliki keinginan untuk mengajar, namun lokasi pekerjaan saya lebih banyak di luar Makassar, sehingga niat tersebut terhambat. Baru pada tahun 2024, saat Batch 2 Relawan Sobat Sipakatau Anak Harapan, saya bisa ikut berpartisipasi. Awalnya, saya berpikir mengajar di panti akan lebih mudah karena hanya perlu mengajar beberapa anak, berbeda dengan kelas yang harus menangani banyak siswa sekaligus. Pengalaman mengajar saat kuliah sangat berbeda, karena ini adalah pertama kalinya saya mengajar anak-anak. Kita semua tahu bahwa anak-anak lebih suka bermain, sehingga pendekatan pengajaran yang dilakukan harus lebih persuasif dan fleksibel. Awalnya, saya mengajar di Panti Asuhan Nurul Ichsan, di mana saya mengajar dua anak SMA, Anjas dan Arfan, dengan materi matematika lanjutan, khususnya perkalian dan pembagian. Sayangnya, karena ketidakmerataan pendidikan, mereka masih belum fasih dalam operasi dasar tersebut. Selanjutnya, kami pindah ke Panti Asuhan Setia Karya, dengan jumlah anak yang jauh lebih banyak, kebanyakan masih di bangku sekolah dasar. Banyaknya anak kadang membuat suasana belajar mengajar cukup chaos. Dalam situasi seperti ini, pendekatan konservatif sering kali diperlukan, termasuk penggunaan metode punishment dan reward untuk memotivasi mereka. Melihat perkembangan mereka setiap minggu memberikan kepuasan tersendiri bagi saya; rasa bangga dan senang menghapus lelah setelah mengajar. Saya juga menyadari pentingnya kolaborasi antar semua elemen masyarakat agar pendidikan dapat merata bagi semua anak. Yayasan Sipakatau Anak Harapan mengambil langkah dengan memberikan bantuan untuk anak-anak di panti asuhan serta kepada para pengajar/relawan. Anak-anak mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik, sementara para pengajar dapat menumbuhkan kepekaan sosial dan berkontribusi pada kemajuan pendidikan di Indonesia. Semoga setiap kebaikan yang kita lakukan selalu mendapatkan sukses dan berkah. Penulis: Mujibul Rahman
Baca SekarangSeperti hari-hari biasanya, saya melakukan kegiatan yang juga merupakan hobi sejak lama, apalagi kalau bukan memotret dan mengambil gambar. Namun, saat itu rasanya berbeda. Jika dulu hasil gambar yang saya ambil membawa perasaan puas dan senang, hari itu benar-benar berbeda. Melalui bidikan pertama dari lensa kamera ponsel saya, senyuman mereka bukan hanya sekadar gambar, melainkan harapan yang menunggu untuk didengar. Setiap potret adalah suara mereka yang harus tersampaikan. Mungkin bagi orang-orang, senyuman mereka adalah kebahagiaan, tetapi dari sudut pandang lensa kamera, senyuman itu adalah cara mereka untuk menutupi kesedihan di hati mereka. Saya percaya bahwa di balik potret senyuman mereka terdapat harapan yang ingin dicapai dan harus tercapai. Ada Alif dengan harapan kecilnya untuk memiliki tas sekolah yang baru, meski terhalang oleh kebutuhan mendesak dari anak-anak lainnya. Lalu ada Razya, yang dengan senyuman di setiap tatapannya hanya ingin pergi ke mall. Juga Nadia, dengan hobinya bermain, ingin menjadi penjual mainan. Dan adik kecil kita, Nafiza, yang ingin menjadi segalanya, dengan segala keterbatasannya untuk mengeksplor dunia. Mimpi dan harapan mereka mungkin kecil bagi kita, tetapi bagi mereka, itu adalah sesuatu yang besar. Awalnya, saya hanya ingin berbagi waktu dan mencari kesibukan lain. Namun, perlahan saya sadar, merekalah yang memberi saya pelajaran tentang arti perjuangan. Mereka memberi saya dan teman-teman alasan untuk tidak pernah mengeluh dan senantiasa bersyukur. Sekarang, setelah melihat keadaan mereka, apa alasan saya untuk tidak bersyukur? Saya rasa tidak ada alasan lagi. Sebuah potret sederhana dari lensa kamera yang saya ambil, kemudian diunggah dalam Instagram yayasan pada tanggal 13 Agustus 2023 dengan judul postingan “Apa Impian Mereka?” mendapat respons positif dari masyarakat. Dan itu telah berhasil membuka mata sebagian besar orang tentang apa harapan dan cita-cita mereka. Di balik lensa kamera ponsel, saya belajar bahwa harapan bukan hanya untuk dimiliki, tetapi juga untuk diteruskan. Cita-cita bukan hanya untuk dimimpikan, tetapi juga untuk diperjuangkan. Mereka bukan ada untuk dikasihani, tetapi untuk dirangkul dan diberi kehidupan serta pendidikan yang layak. Terima kasih dari saya, Rajul, Sipakatau, dan cita-cita mereka. 😀 Penulis: Rajul Waahid
Baca Sekarang